Saat mataku menyapu satu rak berlabel 'buku baru' di Gramedia, mataku terhenti di sebuah buku. 168 Jam dalam Sandera karya Meuty Hafid, seorang jurnalis yang mencoba memahami hidup setelah drama penyanderaan di Irak setidaknya selama 168 jam.
Kredibilitas dan endurance seorang Meutya Hafid terbukti saat meliput bencana tsunami Aceh akhir 2004 silam dan pulang membawa sebuah berita eksklusif, termasuk menjadi satu-satunya wartawan yang masuk ke daerah terisolasi. Hal itulah yang membawa Meutya dan Budi - kamerawan Metro TV - ditugaskan ke daerah konflik di Irak.
Ketegangan terasa saat drama penculikan yang bermula di sebuah POM bensin. Pun saat bermalam di gua yang serba terbatas di mana berinteraksi langsung dengan kaum Mujahiddin, sang penculik.
***
Suara tembakan memecah kesunyian. Ya Tuhan, mereka benar-benar melakukannya?
Kesunyian yang sejenak pecah lagi oleh beberapa letusan.
Butir-butir keringat dingin membasahi tubuhku yang kian menggigil. Selamat jalan, Budi, selamat jalan Ibrahim. Aku akan segera menyusulmu, mungkin dengan cara yang lebih menyiksa. Mama, maafkan aku.
Cara kematian inikah yang akan kujalani? Aku pasrah. Seperti apa pun bentuknya, aku ingin mati dengan tersenyum. Ampuni dosa-dosaku, ya Allah.
Derap langkah kaki menghampiri mulut gua. Seperti langkah tergesa. Inikah ajalku? Si sontoloyo muncul. Wajahnya tidak segarang ketika menggelandang Budi dan Ibrahim keluar. Tangan si sontoloyo memberikan isyarat agar aku keluar. Bayangan kematian semakin nyata, menyeret ingatanku pada hari terberat yang pernah kualami.
(hal.58 – 60)
***
Di tengah cerita rasa haru menyeruak saat ku tiba di halaman yang memuat foto snaphot situasi di studio Metro TV sesaat setelah penayangan video penyanderaan.
Sungguh sebuah cerita yang mengharukan bahkan saat pembebasan telah dilakukan. Kalaupun saya adalah seorang cewek – yang katanya lebih peka - mungkin sudah menangis meneteskan air mata.
Setidaknya buku ini mengingatkan kita arti kepasrahan saat hanya kepada-Nyalah harapan tertuju. Menyadarkan kita lemahnya seorang manusia tanpa campur tangan-Nya, bahwa hidup lebih berarti daripada berita yang paling eksklusif sekalipun.
“Beda antara hidup dan mati sangat tipis. Siapa yang bisa memilih, selain Allah SWT?” ungkapnya di website pribadinya.
Tentang Meutya Hafid klik di sini.
hehe. baru baca bukunya ya?
ReplyDeleteaku uda dari dulu, ada ttdnya jg.
hmm bukunya kayaknya bagus ya
ReplyDeletehmmm hobiku terkalahkan sejak adanya buntut satu ini
ReplyDeletehiks jd pgn baca buku lagi :((
To rie:
ReplyDeletebr bc soale br beli n br nongol d Samarinda blm lama. Jd ngiri ada sign MH.he..
mantap bukunya..... perjalanan hidup yang takkan terlupakan..... tekanan mental dan nyawa yang sudah diubun...
ReplyDeletesetuju mas!
ReplyDeleteAlways be her fans! Tough woman! Hehehe...
ReplyDelete