‘Uang Rokok’ untuk Isap Asap
Pro dan Kontra soal rokok haram belum berakhir dan seolah tak berujung. Ya, benda sepanjang sembilan senti itu ternyata punya cerita panjang, bahkan tembakau pernah menjadi mata uang tak resmi.
Pro dan Kontra soal rokok haram belum berakhir dan seolah tak berujung. Ya, benda sepanjang sembilan senti itu ternyata punya cerita panjang, bahkan tembakau pernah menjadi mata uang tak resmi.
Kini, rokok seolah menjadi alternatif pembiayaan. Kita lihat
saja Sampoerna yang memberikan beasiswa, Djarum Super yang menjadi sponsor
utama penyelenggaraan Indonesia Super League hingga penyelenggaraan pentas
musik grup papan atas yang tak pernah lepas dari sponsor rokok. Iklan rokok di
televisi, koran, majalah atau bilboard seolah dengan mudahnya mendapatkan positioning dari konsumen
dengan jargon-jargonnya seperti Pria Punya Selera, Pria Pemberani, Enjoy Aja
atau Nggak Ada Lo Nggak Rame.
Banyak orang bilang industri rokok menyumbang pajak yang besar
untuk negara, serta 'sumbangan' lain dari rokok untuk pengangguran atau yang
lain di negeri ini. Hal seperti inilah yang menggiring kita untuk mau
mengucapkan ''thank you for smoking''.
Rokok bisa menjadi alat yang paling ampuh untuk menciptakan
sebuah persahabatan. Diawali dari minta rokok atau sekedar 'pinjam' api,
obrolan ringan bisa tercipta. Sebutan ''uang rokok'' mewakili simbol
persahabatan untuk membahasakan uang suap atau uang tanda terima kasih. Namun
justru karena rokok terciptanya jarak antara perokok aktif dan perokok pasif.
Soal hak masing-masing kubu pernah saya utarakan di sini. Intinya lo enak, gue juga enak. Jangan hanya
lo yang enak, gue yang isap asap. Lo punya hak untuk merokok tapi jangan
kesampingkan hak gue menikmati udara tanpa asap rokok.
(memperingati World No Tobacco Day, May 31st, 2010, | Ketika para perokok aktif di luar sana mengeluh dan berjuang untuk berhenti merokok, alhamdulillah sampai sekarang saya tidak berminat dengan racun tersebut)