Samarinda (Harus) Bisa!

Samarinda (Harus) Bisa!

“Selamat datang di bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan. Waktu menunjukkan pukul 14.30 Waktu Indonesia Tengah. Ada perbedaan waktu satu jam lebih cepat dari Yogyakarta.”
 
Pengumuman dari pramugari saat mendarat di bandara Sepinggan, Balikpapan mengawali kisahku di Bumi Etam beberapa tahun yang lalu. Kisah yang bertemakan From AB to KT yang dirangkum dalam sebuah artikel berjudul Samarinda Itu... dalam buku Samarinda Bekesah #01 beberapa waktu yang lalu.

Bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan akan menyambut kehadiranmu ketika akan memasuki kota-kota di provinsi Kalimantan Timur. Beberapa penerbangan dari Indonesia bagian barat menuju Indonesia bagian tengah seperti Berau, Tarakan atau Makassar akan mendarat di bandara ini untuk sekadar transit.
 
"Pesawat ke Samarinda berapa jam dari Jogja?"
"Kurang lebih satu jam setengah, tapi turun di Balikpapan dulu."
"Loh, kenapa?"
"Bandaranya kan di Balikpapan, ke Samarinda perjalanan darat sekitar tiga jam."
"Tiga jam? Wah, lumayan juga! Setara Jogja – Semarang ya.. Memangnya Samarinda enggak punya bandara sendiri?"
"Ada sih, tapi..."
Dan kemudian hening.
 
Samarinda, yang katanya ibu kota provinsi Kalimantan Timur hingga saat ini tidak belum memiliki bandara yang bisa didarati oleh pesawat sekelas Boeing 737. Bandara yang ada, yakni Temindung hanya mampu didarati pesawat perintis sekelas ATR sebagai transportasi dari dan ke daerah-daerah yang mengandalkan transportasi udara.
 
Bandara yang memiliki kode internasional IATA : SRI itu berada di tengah kota, dikeliling oleh pemukiman penduduk dan bangunan-bangunan tinggi. Demi alasan keselamatan, pada tahun 1995 muncul wacana memindahkan bandara Temindung ke Bandara Samarinda Baru (BSB) yang terletak di Kelurahan Sungai Siring yang kini sedang dalam proses pengerjaan.
 
Namun, lagi-lagi seperti beberapa proyek yang ada, pembangunan Bandara Samarinda Baru sempat terhenti beberapa tahun walaupun akhirnya berjalan lagi namun dengan tingkat progres yang kurang signifikan. Rencananya bandara ini akan memiliki panjang landasan pacu 1.200 meter yang kemudian akan dikembangkan menjadi 2.500 meter pada tahap penyelesaian. 
 
Entah kapan Bandara Samarinda Baru akan selesai dibangun, namun semoga bandara tersebut sesuai dengan harapan dan mampu didarati oleh pesawat sekelas Boeing 737 atau Airbus. Masyarakat menanti kehadiran bandara yang mampu memberikan akses yang lebih mudah dan menunjang pemerataan ekonomi sehingga Samarinda sebagai ibu kota provinsi dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
 
Kekuatan Promosi Wisata
 
Keberadaan bandara sebagai pintu untuk mempermudah keluar masuk masyarakat lokal maupun pendatang dengan berbagai kepentingan merupakan hal yang penting untuk menunjang kemajuan berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pariwisata. Selain tempat wisata itu sendiri, kemudahan akses transportasi akan memengaruhi jumlah kunjungan wisata ke Samarinda.
 
Wisatawan bisa saja mendatangi sebuah tempat wisata yang belum memiliki akses atau sarana transportasi yang memadai, tetapi biasanya perjuangan menempuh perjalanan akan terbayar dan sepadan ketika mendapati tempat wisata yang mengagumkan dan memesona.
 
Bila ada pertanyaan tentang di mana tempat-tempat wisata di Samarinda, kita akan dengan mudah menyebutnya karena jumlahnya yang tidak banyak. Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), Air Terjun Tanah Merah, serta desa wisata budaya di Desa Pampang menjadi menu wajib bagi wisatawan luar untuk menikmati tempat wisata yang ada di Samarinda. 
 
Daftar berikutnya ada wisata kerajinan tenun di Samarinda Seberang, wisata kuliner menikmati Nasi Kuning, hingga wisata religi di Masjid Islamic Center, Kelenteng Tian Yi Gong dan mungkin sebentar lagi patung Budha yang ada di Budhist Center.
 
Air Terjun Tanah Merah
Air Terjun Tanah Merah, Samarinda

Masih ada beberapa tempat wisata tersembunyi yang jarang menjadi rekomendasi dari pihak pemerintah. Selain pengelolaan yang maksimal, promosi menjadi cara yang paling penting untuk menarik perhatian wisatawan.
 
Belajar dari kota Kuala Lumpur mengenai pariwisatanya, mereka memang memiliki tempat-tempat wisata yang memiliki daya tarik yang kuat seperti Menara Kembar Petronas, Menara KL atau Genting Highland. Tetapi di samping itu mereka memiliki tempat wisata yang tergolong biasa saja namun tetap mampu mendatangkan wisatawan dengan jumlah yang tidak sedikit.

Sebagai contoh adalah Merdeka Square atau Dataran Merdeka, apa yang menarik dari tempat ini? Toh, yang bisa kita lihat hanya lapangan, jalanan berkonblok seperti jalanan yang ada di sekitar kampus UGM, Yogyakarta, serta bangunan Sultan Abdul Samad di seberang Dataran Merdeka yang hanya bisa dinikmati dari luar.

Kekuatan promosi tempat ini sangatlah kuat sehingga tertanam kesan bila mengunjungi Kuala Lumpur harus mampir ke tempat ini. Sejurus dengan Merdeka Square, ada Bangunan Masjid Jamek yang masuk dalam agenda tujuan wisata Kuala Lumpur, namun tak banyak yang menarik pada bangunan ini kecuali sejarah Masjid Jamek itu sendiri. Bila setelah datang ke tempat-tempat tadi dan kemudian berkomentar, “ah, biasa aja” itu artinya promosi mereka berhasil.
 
Dataran Merdeka
Dataran Merdeka, Kuala Lumpur
Masih mengenai Kuala Lumpur, bahkan tempat wisata seperti Sunway Lagoon yang memesona itu dulunya adalah bekas tambang timah yang telah berhasil direklamasi. Ya, benar-benar reklamasi maksimal, bukan reklamasi asal-asalan yang hanya sekadar cari aman demi menggugurkan kewajiban perusahaan terhadap pemerintah.
 
Di Samarinda banyak lubang bekas tambang yang masih terbuka lebar dan bahkan membahayakan warga sekitar. Beberapa tempat bekas tambang sudah dimanfaatkan menjadi perumahan, namun itu hanya sebagian kecil. Kota ini masih memiliki ratusan lubang tambang yang menganga.

Jika pengusaha Chairul Tanjung jadi melebarkan sayap usahanya ke Kalimantan Timur melalui Trans Studionya dan Samarinda menjadi kota pilihannya, lubang-lubang bekas tambang ini bisa saja menjadi alternatif penyediaan lahan. Selain bermanfaat bagi lingkungan tentu saja akan memajukan perekonomian Samarinda melalui potensi pariwisata.
 
Belajar dari hal tersebut tempat-tempat wisata Samarinda bisa saja dipromosikan dengan kuat, namun jangan pula dilupakan infrastruktur pendukung untuk menunjang kenyamanan wisatawan yang datang baik itu mengenai sarana, akses jalan atau tempat wisata itu sendiri. Percuma bila memaksimalkan promosi wisata di luar daerah bahkan luar negeri namun tidak membenahi infrastruktur penunjangnya.

Potensi Wisata Sungai Mahakam

Kota Tepian, begitulah motto untuk kota Samarinda. Selain berakronim Teduh, Rapi, Aman dan Nyaman, kota Samarinda memang berada di tepian sungai Mahakam yang membelah kota ini. Sungai Mahakam telah memberikan pengaruh dalam perkembangan zaman melalui perputaran roda ekonominya.

Penataan kawasan tepian Mahakam (pernah) cukup tertata rapi sebagai tempat nongkrong, tempat permainan anak-anak dan tempat menikmati sore sambil memandangi tug boat menarik ponton batubara. Tempat menikmati malam bersama jagung bakar, salah satu posisi untuk berburu matahari terbenam dengan latar depan Masjid Islamic Center atau sekadar menghabiskan waktu sore dengan memancing.

Apakah sungai Mahakam bisa dikelola menjadi tujuan wisata? Pikiranku kemudian melayang ke sebuah sungai terkenal di kota Bangkok, sungai Chao Phraya. Merasakan pesona di sisi kanan dan kiri sungai Chao Phraya pada malam hari dari dek terbuka kapal wisata tentu membuatku iri. Sejenak terpikir, andai saja sungai Mahakam dikelola seperti ini tentu warga Samarinda akan memiliki cara yang berbeda dalam menikmati sungai yang menjadi bagian kehidupan warga Samarinda.

Cahaya lampu dari bawah yang disorotkan ke bangunan kuil di sekitar sungai Chao Phraya menjadi salah satu daya tarik wisata sungai. Dengan merogoh kantong 800 Baht atau sekitar Rp240.000 pada waktu itu, selain sajian makan malam dan music live performance, penumpang kapal bisa menikmati keindahan bangunan-bangunan seperti kuil dan jembatan yang dilaluinya selama kurang lebih 2 jam.

Akankah sungai Mahakam bisa dinikmati dengan cara yang serupa? Saya yakin bisa, keseriusan pengelolaan dan suntikan dana dari investor merupakan faktor pentingnya. Saya hanya bisa bermimpi suatu saat nanti kawasan tepian dan sungai Mahakam dikembangkan menjadi tujuan wisata, baik untuk wisatawan lokal maupun wisatawan luar kota.

Membandingkan wisata Samarinda dengan Kuala Lumpur dan Bangkok memang dirasa tak adil karena mereka jauh lebih maju di berbagai bidang. Namun, jika ingin lebih berkembang kita mau tidak mau harus mengintip ‘rumah’ tetangga dan meniru apa yang bisa diaplikasikan di Samarinda.

Seperti para pelancong bilang, “Keluarlah, maka kau akan tahu keadaan rumahmu. Nikmati pesona negara lain, maka kau akan mengenali pesona negerimu.”

Samarinda memiliki berbagai permasalahan seperti debu, banjir, krisis listrik, kebakaran, dan sebagainya, tapi di balik itu saya yakin potensi-potensi yang tersembunyi masih bisa dikembangkan hingga suatu saat nanti jargon Visit Samarinda bisa efektif.


































3 comments:

  1. itu yg ngajak ngobrol pati anak manja yak. Kalo saya dibilang begitu mah sante aja menikmati perjalanan...

    ReplyDelete
  2. mantap ya..pemandanga disamarinda...jadi pengen ke samarinda nie..

    ReplyDelete

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya..

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home